Bandar Lampung, inihari.id – Mahalnya ongkos politik dituding menjadi pemicu maraknya “Bohir” di gelaran pemilihan kepala daerah baik pemilihan bupati ataupun pemilihan gubernur di Indonesia, khususnya di Lampung.
Para kandidat harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk bisa berlaga agar bisa memenangkan kontestasi. Salah satu faktor yang membuat ongkos Pilkada mahal adalah budaya “mahar politik”. Guna “membeli” perahu parpol kandidat harus mengeluarkan dana besar. Dana yang dikeluarkan bisa jauh lebih besar jika calon ingin mendapat dukungan dari banyak partai.
Selain mahar, kandidat juga harus menyiapkan dana untuk belanja logistik kampanye, mendanai mesin parpol, tim sukses, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei.
Kandidat akan membutuhkan dana lebih besar lagi jika mereka melakukan politik uang. Karena, meski dilarang praktik politik haram ini masih kerap dilakukan. Kondisi ini mau tak mau membuat kandidat mencari “partner” yang bisa mendanai ongkos politik yang tak sedikit.
Nah, terkait narasi di atas sudah jadi rahasia umum jika pilkada di Lampung saat ini tak bisa lepas dari sang pemilik “Kebon Tebu”, merujuk kepada sebuah perusahaan gula terbesar di asia tenggara. Dimana sang owner secara terang-terangan ditengarai menjadi “Cukong alias Bohir” dari para kontestan pilkada di Bumi Sai Rua Jurai ini.
Pameo tak tertulis membuktikan, jika sudah direstui sang “Bohir” pemilik “Kobon” maka dijamin kemenangan di depan mata, dan faktanya itu real terjadi.
Keberadaan para cukong di Pilkada ini tentu dinilai mencederai dan merusak demokrasi. Pasalnya, setelah terpilih kepala daerah tersebut harus balas jasa. Bukan mengembalikan uang, namun hal-hal yang bisa dilakukan lewat kekuasaan.
Alih-alih mengabdi dan bekerja untuk warga, mereka akan lebih sibuk melayani para penyandang dana. Pada akhirnya keberadaan para cukong ini akan melahirkan korupsi kebijakan.
Korupsi kebijakan ini beragam. Mulai dari bagi-bagi proyek, pengadaan barang dan jasa hingga pemberian izin penguasaan lahan, hutan atau tambang. Dengan mendukung kepala daerah terpilih, sangat mudah bagi para cukong untuk mengintervensi kebijakan dan regulasi. Akhirnya masyarakatpun menjadi tidak berdaya sehingga “diam” terkesan membiarkan, kendati kasak kusuk di ruang publik jadi perbincangan.
Nah hal inilah yang melatari sejumlah aktivis, pengamat, akademisi, mencoba mengulik dan berupaya mengembalikan trah demokrasi ke relnya, tanpa harus dikooptasi para “Bohir dan Cukong” Pilkada.
Untuk mengetahui sejauh mana peran para cukong di dalam Pilkada? Apa benar mereka berperan penting dalam pemenangan kandidat? Bagaimana mekanisme pengawasan sumbangan bagi kandidat? Apa yang mesti dilakukan agar bisa terlepas dari jerat para pemburu rente ini?…..
Kegelisahan Andi Surya owner Universitas Mitra Indonesia (Umitra) Lampung melihat fenomena di atas akhirnya melahirkan gagasan membuka ruang berpikir menyatukan komponen pro demokrasi yang tercerai berai dalam sebuah Dialog Publik mengsung Topik : ” GELIAT DEMOKRASI MENGHADAPI PILKADA DI LAMPUNG” dengan Sub Topik : “Keberadaan Bohir yang Sangat Mempengaruhi Keterpilihan Cakada. Salah Satu Isu Demokrasi yang Berkembang Dalam Geliat Pilkada di Lampung”
Acara tersebut akan digelar di Gedung Rektorat UMITRA Indonesia, Lt. 7. Jalan Z.A. Pagar Alam, Gedung Meneng, Bandar Lampung pada Rabu 8 Mei 2024, sekira pukul 13.30 WIB hingga selesai.
Didapuk menjadi narasumber dan pembicara, Tokoh adat yang juga mantan Kapolda Lampung Dr. H. Ike Edwin, SIK, SH, MH, MM., Ketua Yayasan Umitra Lampung Dr. Andi Surya, politisi dan mantan Bupati Lampung Selatan Dr. Wendy Melfa, dan aktivis pergerakan yang saat ini mentasbihkan diri maju sebagai bakal calon gubernur jalur perseorangan Ahmad Muslimin.
Ketua panitia kegiatan Agus Setiyo, S.Sos., MM., berharap dialog publik ini nanti akan hidup dan berlangsung hangat, mengingat para pembicara yang sangat mumpuni dalam perpolitikan di daerah ini.
“Sub topik dialog ini adalah keberadaan bohir yang sangat mempengaruhi keterpilihan Cakada. Topik ini yang akan dikulik dan dibahas,” ujar dia, Rabu (6/5/2024)
Peran atau keberadaan bohir dalam dunia politik, belakangan ini menjadi trending. Sama hal dengan istilah kebon di kancah pilkada Lampung. Dalam konteks politik, bohir diartikan sebagai pemberi modal politik. Arti bohir berasal dari kata Bouwheer berasal dari bahasa Belanda yang berarti pemberi tugas, atau pemilik proyek (owner).
Kata itu kemudian dalam percakapan sehari-hari, biasanya merujuk pada pemberi modal politik. Istilah bohir ini tentu dikonotasikan negatif. Sepadan dengan istilah kebon (seharusnya: kebun), yang merujuk pengusaha gula atau kebon tebu.
“Nah Owner kebon tebu selalu muncul pada setiap pergelaran pilkada di Lampung. Terutama helat Pemilihan Gubernur Lampung. Disinilah pokok pembahasan kita,” ujarnya.
Agus mengajak dan mengundang masyarakat umum, para mahasiswa, akademisi, para jurnalis, politisi dan sebagainya untuk datang dan meramaikan acara ini.
“Silakan hadir dan ramaikan, terbuka untuk umum, gratis,” ujarnya. (FSA)