INIHARI.ID – Ironi di tengah krisis pangan: saat beras mahal, rakyat disuruh makan singkong. Ketika cabai melambung, diminta kurangi pedas. Tapi kini, saat singkong anjlok tak berharga, petani justru disarankan berhenti menanamnya.
Ya, kebijakan larangan terbatas (lartas) terhadap ekspor singkong yang belum juga ditangani serius oleh pemerintah pusat mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas.
Ia menilai, kebijakan tersebut telah terlalu lama merugikan petani, terutama di daerah sentra produksi seperti Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Lampung Timur.
Dampaknya, harga singkong di tingkat petani terus merosot, bahkan tak lagi mampu menutup biaya produksi.
“Petani singkong di Lampung saat ini berada dalam posisi sulit. Harga jual terus anjlok karena pasar ekspor dibatasi. Pemerintah pusat seharusnya segera mengevaluasi atau mencabut kebijakan lartas ini sebelum petani semakin terpuruk,” ujar Mikdar, Kamis (22/05/2025).
Politisi Gerindra itu menambahkan, ketidakpastian kebijakan membuat petani bingung dalam merencanakan musim tanam. Ia pun mendorong petani untuk mulai mempertimbangkan alih tanam ke komoditas yang lebih stabil secara harga dan pasar, seperti jagung dan padi darat.
“Kalau situasinya terus begini, saya sarankan jangan tanam singkong dulu. Lebih baik alihkan ke jagung atau padi darat. Harga lebih stabil, dan pasarnya jelas,” tegasnya.
Menurut Mikdar, posisi Lampung sebagai salah satu lumbung singkong nasional semestinya menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Singkong tak hanya penting bagi ketahanan pangan, tapi juga menopang industri tepung tapioka, bioetanol, hingga pakan ternak. Sayangnya, kebijakan lartas justru memukul rantai pasok dan ekonomi pedesaan.
Ia juga meminta Pemerintah Provinsi Lampung untuk tak tinggal diam. Gubernur dan jajaran terkait diminta aktif menyuarakan aspirasi petani ke Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan.
“Ini bukan masalah kecil. Lartas ini menghantam ekonomi rakyat kecil. Pemprov harus turun tangan, jangan tunggu petani makin terpuruk,” katanya.
Keluhan serupa disampaikan para petani di Lampung Tengah. Wardi (45), salah satu petani singkong, mengaku harga jual di tingkat pengepul kini hanya berkisar Rp800 hingga Rp1.100 per kilogram—jauh dari harga ideal di atas Rp1.500.
“Modal tanam dan sewa lahan saja sudah habis. Sekarang hasil panen tidak cukup buat bayar tenaga kerja,” keluhnya.
Petani berharap ada kepastian dari pemerintah terkait arah kebijakan ekspor maupun pengembangan industri singkong nasional. Tanpa itu, banyak lahan singkong yang terancam terbengkalai atau dialihfungsikan.
Mikdar menegaskan, pemerintah tidak boleh hanya fokus pada komoditas utama seperti beras dan jagung. “Singkong juga penting, apalagi bagi daerah seperti Lampung. Jangan anak tirikan nasib petani singkong,” pungkasnya. (*)