banner 728x250
Opini  

Cerita Seorang Murid Tentang Mursidnya

Teruntuk Om Bakhtiar Basri

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Sani Rizani

Kudet kata anak sekarang. Jarang pegang hp kata orang dulu. Sebelum ashar tiba, saya buka wa di hp. Ada berita pagi yang saya baca sore hari.

banner 325x300

Duh, membuncah dada, rusak semua logika. Ada judul berita “Om Bah Dukung Kyai Mirza”. Ternyata benar kata sahabat saya UA (Umar Ahmad). “Bang, kita jangan buat Om Bah dilema. Biarkan dia dengan kearifannya”.

Ba’da ashar saya seruput kopi sisa pagi. Pikir saya jauh menerawang ke tahun 2011-san. Rasa penyesalan mulai timbul dihati saya. Saya salah.. saya yang salah.. sebegitu baiknya, sebegitu arifnya, sebegitu dermawannya. Sebegitu penolongnya. Dan masih banyak sebegitu lainnya yang tak mampu lagi saya tuliskan tentang kebaikan-kebaikan kanda (sebutan kami di HMI) om (sebutan kami dikeluarga) Bahtiar Basri. Dan saya menuduhnya dengan prasangka buruk.

Tapi ingatan itu satu persatu terus melitas seperti film yang diputar di cinema ternama. Jelas, jernih dan detil.

“Han, bapak dimana..?” tanya saya di telepon pada ajudan Om Bah, Handoko. “Bapak di rumdis bupati bang, siap perintah? seperti biasa canda Handoko pada saya. “Han, bilang ke bapak sih, buntu”.

Tak lama berselang, suara om bah di ujung telepon Handoko menyapa saya..

“Kenapa lo Sani, buntu ya!?.. gua juga.. ha..ha.. nanti gua titip Handoko ya.. dikit aja ya.. yang penting aman dulu isi dompet lo”.

Malu campur girang, karena bakal dikirim Om Bah uang. Dan mau tahu berapa yang beliau kirim..? 10 juta, di luar ekspektasi saya, yang katanya Om Bah lagi buntu. Om Bah baik..? Oh belum tuntas ceritanya….

Masih dengan film yang berputar pada ingatan saya dengan alur cerita yang lompat maju mundur masa kejadiannya. Tapi baiknya saya perpendek saja. Karena kata generasi zoomer (Z). Cerita yang terlalu panjang pasti kami skip (lompati).

Satu ketika, sekira ditahun 2014 saya ditelepon Umar Ahmad (UA). “Bang susul saya ke rumah, bawa motor tua lo yang ada gandengan. Kita ke rumah Om Bah” pinta Umar pada saya.

Bergegas saya gas motor tua Made in Rusia saya lengkap dengan kereta gandengnya dari Kedamaian menuju rumah UA Perum Griya Madu Permai Tanjung senang, 1 kilo meter jaraknya dari rumah Om Bah.

Gak sempat saya matikan nyala mesin motor, UA bergegas naik di perahu gandengan. Sepanjang, sesingkat waktu UA bicara pada saya. “Bang, gua diperintah komandan (Ridho Ficardo) untuk bicara dengan Om Bah.. bahwa RF memilih Om Bah jadi pasangannya calon wagub”. Sepontan saya teriak “siiiip..!!”.

“Nanti dulu.!” Cegah UA. “Yang jadi masalah, kalo gua yang ngomong nanti dikira Om Bah gua ngusir dia dari Tubaba dan dia kira gua sudah kepengan jadi bupati. Bisa beda nanti bang..” risau nada suara UA. “Gua yang ngomong Kalo gitu” sambut saya cepat.

Lima menit tiba kami di rumah Om Bah. Tante Hasiah menyambut kami. “Omnya ada di atas (kamar tidur), ketok aja. Udah tiga hari demam, flu” sembari menyilahkan kami menaiki tangga.

Tiga kali ketukan pintu, Om Bah memberi sahutan “ya, siapa..?” “Ekam om, Umar” jawab UA dalam bahasa Lampung. “Naaah, apa cerita, gua gak enak badan, flu.. pas bener, gua pengen makan soto, kita makan ya..” ajak Om Bah pada kami. Kami tak menjawab, cuma mengangguk bersamaan.

Soto tiba, makan dimulai dan usai. Masih di meja makan. Basa-basi cerita terucap. Mengalir tapi jantung berdetak cukup kencang. Ini soal pilihan politik. Ini soal pinangan yang akan kami sampaikan. Tapi Bismillah, waktu tak panjang. RF menanti jawaban.

Saya mulai bicara “Om, Sani sama Umar ke sini bawa amanah mas Ridho. Beberapa kali dia sholat malam, yang tergambar di benaknya selalu Om Bah. Dan Bismillah dia minta om dampingi dia jadi calon wagub”. Usai sudah beban kata itu keluar dari mulut saya.

Suasana jadi hening, seheningnya. Tatap tajam Om Bah bergantian pada mata saya dan UA. Bola matanya sedikit membesar dan suaranya mulai terdengar. “Mar.. kamu tau kita baru aja selesai perang (Pilkada Tubaba) hutang belum lunas. Nafas masih di ujung leher. Betul politik tidak melulu uang, tapi Gak mungkin untuk kebaikan tanpa biaya. Malu kita” tegas Om Bah.. “sejak awal saya sudah berikrar, untuk Ridho jadi gubernur saya siap jadi panglima perangnya, bukan wagub yang saya mau”, makin tegas suara Om Bah.

“Mohon maaf om, kenapa Sani yang sampaikan ini, karena Umar khawatir om salah duga” saya berusaha tarik ulur pembicaraan” udah lagi Sani, kalo lo duga gua masih punya prasangka negatif dengan Umar percuma dia gua minta jadi wakil gua. Dia anak gua, ya juga adek gua. Posisi lo orang selesai sama gua” tegas Om Bah menyatakan purna sudah analisanya dengan kami.

“Gini aja, saya bersedia jadi wagub Ridho” bersamaan saya dan UA berucap Alhamdulillah. “Sabar, saya belum selesai. Saya bersedia, tapi saya Gak bisa bawa sangu banyak. Tapi jangan dianggap saya jadi wagub Ridho modal nafas aja. Marah saya. Saya punya kawan, saya punya sahabat. Saya banyak saudara. Saya akan buktikan ke Ridho. InsyaAllah kita bisa menang. Itu modal saya. Percakapan penting itu usai, kami pamit untuk segera lapor pada RF.

Nah, melintas lagi film itu dalam pikir saya. Masuk kedalam cerita yang berbeda. “Dikedo bang, lapah ram dak nuwo Om Bah, wat masalah cutik bang”. Terjemahin Gak sih..? Terjemahin ya.. “dimana bang, ayo kita ke rumah (rumdis wagub) Om Bah, ada masalah dikit bang” pinta Umar ke saya.

Selang 30 menit kami tiba di rumah dinas wagub jalan KS. Tubun Rawa Laut. Berceritalah kami bahwa sahabat kami sedang dirundung masalah yang cukup pelik. Sepertinya kami tak sanggup menghadapinya, maka kami hanya melaporkan saja, dan setelah itu kami beranjak untuk pamit pulang.

“Lo orang mau ke mana, cuma lapor aja!” Sergah Om Bah. “Ya om, kami gak enak mau ikut campur”. Jawab saya. “Begini..! gua gak suka cara lo orang ini. Boleh lo orang menjauh kalo kawan lagi seneng. Tapi kalo kawan lagi sulit dan butuh pertolongan, datang, jangan lari. Lo orang juga kalo susah cepat kabarin gua, gua pasti datang. Duduk aja lagi Mar, San..” perintah Om Bah pada kami. Habis kami berdua diceramahi Om Bah dengan keras. Dan benar-benar pukulan sejati seorang guru yang mengajarkan nilai-nilai persahabatan, persaudaraan.

Minggu, 5 Mei 2024 pagi hari. Saya dan UA hadir di pernikahan ananda Farah putri adik ipar saya almarhum Suryadi. Sedikit terlambat kami memasuki gedung pertemuan Bagas Raya di jalan Soekarno Hatta Bandar Lampung. Dua belah pihak calon besan sudah berhadapan di meja akad nikah. Jeli mata UA mendapati Om Bah yang duduk di meja saksi mempelai wanita. Mengangkat tangan sedada tanda tabik (hormat) kami dengan Om Bah. Di bangku depan kanan tamu undangan kami besalaman dengan tante Hasiah.

Akad nikah selesai. Beranjak kami berdiri dan menyambangi Om Bah untuk bersalam. Sedikit bercanda saya sikap hormat pada Om Bah.. “Dari mana aja lo ngilang San..? Apa kabar lo Mar..?” tanya Om Bah pada kami. “Ini udah muncul lagi om, jadi pasukan perintis berjuang bareng UA om…” jawab saya. “Awas, jangan lo tinggal-tinggal.. bantu betul Umar San… Mar, mantepin pilihan lo.. gas terus”. Lagi perintah yang tak bisa saya jawab dan saya bantah. “Siaaaap om…!” Lagi saya angkat tangan sikap hormat dan salim cium tangan Om Bah..

Hari ini, sore ini. Minggu 12 Mei 2024. Tepat sepekan dari jumpa kami dengan Om abah saya baca berita. Om Bah dukung Kyai Mirza. Diawal dengan pendek pikir saya tuduh Om Bah tak dukung UA. Tapi sungguh, saya sesali tuduhan buruk saya itu. Maaf kan Sani om.. puas sudah om ajarkan kami tentang kearifan, tentang bertindak Bijaksana. Tentang kemurahan hati. Tentang cara memaafkan. Tentang cara berjuang. Tentang berbagi rejeki. Tentang pengorbanan. Tentang cara menahan keinginan pribadi.

Jika boleh saya selami alam pikir Om Bah. Sampai sudah saya pada kesimpulan bahwa Om Bah yakin kami sudah mampu membentuk barisan perjuangan meski om tak ada lagi di antara barisan kami. Tapi saya yakin doanya untuk kami disaat diamnya, disaat tafakurnya. “Gua akan bela kalian yang lemah San,” kalimat yang masih jelas di telinga saya.

Mohon ijin om, tidak berniat berlawanan. Karena ini bukan peperangan. Hanya kompetisi politik belaka. Adik-adik dan kemenakan om UA dan kami sedang berikhtiar menjemput nasib. Salah rasanya jika tidak diperjuangkan. Bukankah itu yang selalu om ajarkan pada kami untuk memompa semangat saat kami merasa lelah, lemah, dikala susah.

Tabik om.. mungkin om lupa. Sani pernah meminta om untuk menjadi bapak bangsa di Provinsi Lampung. Dan Sani yakin, hal yang om lakukan semalam adalah bagian dari pinta itu. Om hadir sebagai sosok bijak, yang bekenan untuk selalu menjadi penengah dalam setiap masalah.

Doakan kami om.. doa kami untuk om bah dan keluarga. semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa sehat, kuatkan, istiqomahkan om. Dicurahkan hidayah, diberi rizki barokah melimpah. Ta’jim kami.. tabik..

Nakanda,

Sani rizani

 

Penulis Sani Mirzani adalah Ketua Motor Antik Club Indonesia (MACI). 

banner 325x300 banner 325x300
Penulis: Sani RizaniEditor: Ferry Susanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 400x130