Bandar Lampung, inihari.id – DPD Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Lampung, mendukung penuh upaya ribuan hakim di Indonesia akan menggelar Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7—11 Oktober 2024, bulan depan.
Dalam penerapan Konvensi No. 87, tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, ditandatangani tahun 1948 mulai berlaku bulan Juli 1950.
Secara tegas, pengakuan hak berserikat pegawai negeri tidak dapat menilai masalah hak pegawai tersebut untuk melakukan aksi mogok.
Komisi Kebebasan Berserikat dan Komisi Ahli sepakat bila pegawai negeri tidak diberi hak mogok, maka mereka harus memperoleh jaminan-jaminan yang memadai untuk melindungi kepentingan mereka, termasuk prosedur arbitrase dan konsiliasi yang tepat, adil dan cepat.
Latar belakang aksi cuti ribuan Hakim se-Indonesia ini, adalah masalah gaji dan tunjangan hakim yang belum ditingkatkan selama 12 tahun belakangan.
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kepercayaan hukum. Hakim diharapkan dapat menjadi sandaran untuk menegakan kebenaran dan keadilan.
“Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” tegas Penta Peturun selaku Ketua DPD IKADIN Lampung, Kamis (26/9/2024).
Gaji dan tunjangan jabatan hakim saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012, adalah peraturan yang mengatur tentang hak keuangan dan fasilitas hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Jadi, suatu realitas setelah 12 tahun PP tersebut belum disesuaikan. Dengan kondisi Indonesia terus mengalami inflasi setiap tahun.
Merujuk data, beban kerja dan jumlah hakim yang tidak proporsional. Laporan Mahkamah Agung Tahun 2023, jumlah hakim pada tingkat pertama sebanyak 6.069 dengan beban perkara sejumlah 2.845.784 perkara.
Pilihan ribuan Hakim di Indonesia akan cuti bersama. Secara tidak langsung adalah mogok kerja, merupakan dari hak setiap orang.
“Untuk itu kami mendukung dan meminta kepada Ketua Mahkamah Agung untuk tidak memberikan Sanksi kepada Hakim yang ikut serta. Sebagai mana yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1956, Hakim Mogok Kerja,” harap Penta Peturun selaku Advokat yang perduli terhadap nasib Hakim di Indonesia. (Rls)