banner 728x250
Opini  

Kota Semakin Sesak, Ekonomi Kian Lesu: Nasib Pedagang Kaki Lima di Bawah Bayang-Bayang Ketidakpastian

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Ferry Susanto *

Pemimpin Redaksi INIHARI.ID

banner 325x300

Di tengah lesunya perekonomian nasional, wajah-wajah baru makin banyak bermunculan di sudut-sudut kota. Mereka bukan pendatang asing, bukan pula investor baru. Mereka adalah korban ekonomi yang mencoba bertahan hidup lewat satu jalan: menjadi pedagang kaki lima.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Jakarta atau kota-kota megapolitan lain. Di Bandar Lampung, situasinya tak kalah mencemaskan. Jalanan makin padat, trotoar berubah fungsi, dan ruang publik perlahan-lahan tergerus oleh tenda-tenda kecil berisi barang dagangan. Di balik wajah-wajah penuh harap itu, ada cerita getir tentang pemutusan hubungan kerja, penghematan anggaran pemerintah, dan daya beli yang terus merosot.

Ketika Jalan Menjadi Kios

Menurut data Dinas Koperasi dan UKM Kota Bandar Lampung per akhir 2024, tercatat lebih dari 17.000 pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar di wilayah kota. Angka ini melonjak hampir 40 persen dibandingkan sebelum pandemi. Bahkan, di sejumlah titik strategis seperti Jalan Raden Intan, Pasar Tugu, hingga kawasan Saburai, kemunculan pedagang baru terus bertambah setiap minggunya.

Sebagian besar dari mereka adalah mantan buruh pabrik, pekerja sektor jasa yang dirumahkan, hingga lulusan perguruan tinggi yang gagal menembus pasar kerja. Mereka tak punya modal besar, hanya berbekal niat bertahan hidup.

Namun lonjakan ini tak hanya soal bertambahnya jumlah pedagang. Ia juga menandakan krisis yang lebih besar: melemahnya ekonomi rakyat.

Daya Beli Menurun, UMKM Menjerit

Bank Indonesia mencatat, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Lampung pada triwulan pertama 2025 mengalami penurunan ke angka 83,4, jauh dari batas optimistis sebesar 100. Angka ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan penurunan kemampuan belanja rumah tangga.

Turunnya daya beli ini langsung dirasakan oleh pelaku UMKM, termasuk para PKL. Beberapa pedagang mengaku omzet mereka susut hingga 50 persen dalam enam bulan terakhir. “Sekarang pembeli makin pilih-pilih, kadang satu hari cuma laku lima bungkus nasi,” ujar Junaidi (42), pedagang makanan di kawasan Telukbetung.

Dalam situasi seperti ini, PKL justru berfungsi sebagai bantalan ekonomi: memberi penghasilan harian bagi keluarga yang terdampak. Tapi bila tidak diatur dengan bijak, mereka justru bisa menjadi korban berikutnya dari kekacauan kota.

Kota Semrawut, Ruang Publik Terancam

Lonjakan jumlah pedagang kaki lima membawa tantangan besar bagi wajah kota. Di Bandar Lampung, banyak ruas jalan berubah fungsi, kemacetan semakin parah, dan trotoar kehilangan fungsi dasarnya sebagai jalur pejalan kaki. Ini belum termasuk tumpukan sampah, kabel listrik yang menjuntai sembarangan, hingga rawan kebakaran.

Tidak semua pedagang salah. Banyak di antara mereka ingin patuh pada aturan, namun tak tersedia ruang yang layak. Minimnya pasar rakyat yang representatif serta lambannya program relokasi menyebabkan PKL tak punya pilihan selain berjualan di sembarang tempat.

Sementara itu, pengusaha kecil-menengah yang lebih mapan pun merasa terdampak. “Kami bayar pajak, sewa, dan ikut aturan. Tapi yang jualan di pinggir jalan kadang lebih ramai karena murah dan praktis. Ini jadi tidak adil,” keluh Dian (34), pemilik kedai kopi kecil di Way Halim.

Saatnya Berpihak, Bukan Mengusir

Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu mengambil pendekatan baru. Bukan sekadar penertiban atau penggusuran, melainkan penataan yang manusiawi dan berkelanjutan. Model zonasi PKL, pasar tematik di ruang publik, hingga integrasi pedagang ke dalam sistem e-katalog lokal bisa menjadi solusi jangka panjang.

Selain itu, akses ke pembiayaan mikro, pelatihan kewirausahaan, serta sistem pendataan yang akurat mutlak dibutuhkan. Banyak pedagang tak terdaftar secara resmi, sehingga tak tersentuh program bantuan maupun perlindungan sosial.

Di sisi lain, pembukaan lapangan kerja formal yang lebih luas juga perlu dipercepat. Tanpa itu, PKL akan terus menjadi “penampung darurat” yang kian tak terkendali.

Penutup: Menata Tanpa Menyingkirkan

PKL adalah wajah dari ketangguhan rakyat kecil. Mereka hadir bukan karena ingin melanggar aturan, tapi karena sistem ekonomi belum memberi ruang adil untuk semua. Maka tugas kita bukan mengusir mereka, tapi memastikan mereka bisa berdagang dengan tertib, aman, dan bermartabat.

Kota yang baik bukan hanya kota yang bersih dan rapi, tapi juga yang memberi tempat bagi semua lapisan masyarakat untuk tumbuh bersama.(*)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 400x130