#kacamatamasjun*
Siang itu cuaca sangat panas, hembusan angin yang ada, tidak mampu menghilangkan teriknya cahaya matahari. Meskipun pohon ketapang dengan daunnya yang rindang telah setia memayungi, masih saja tak membuat cuaca menjadi sejuk.
Meski begitu, si Karey tetap asik menyeruput kopi panasnya sembari sesekali meludahkan sisa bubuk kopi yang mengganjal di lidahnya.
Bapas, “Alangkah panas hari ini ya,” ujarnya setengah bergumam.
Tiba tiba datang, si Kicut menghampiri si Karey, “Wooy…di sini kamu rupanya Rey, dari tadi saya muter-muter nyariin kamu, ternyata kamu lagi nyantai di sini,” ujar Kicut sembari menepuk bahunya.
“Iyew Cut, jawab si Karey “Saya gak tahan wah keluar, panas bener hari ini. Apa cerita kamu nyariin saya”.
“Kamu udah denger belum, cerita si Bugam, dia kemaren abis nabok orang , katanya Piil gara-gara nggak diundang di acara ulang tahun orang itu, padahal diorang bedua itu berteman,” Dul Kicut nemulai ceritanya.
“Terus, udah gitu aja tah ceritanya Cut?,“ tanya si Karey.
Si Karey menjawab, “Belum selesai kidah, kamu maen potong aja. Kan belum saya tutup ceritanya, saya lanjutin ya…jadi sekarang si Bugam lagi diperiksa polisi, rupanya orang itu nggak terima terus lapor ke polisi”.
“Ooh, kasian juga ya si Bugam. Namanya tersinggung itu mah Cut bukan Piil,” jawab si Karey dengan intonasi suara yang rendah.
“Waah, ya Piil lah itu Rey, gimana kamu ini, diorang itu kan berteman, tapi ada acara gak diundang, apa maksudnya. Gimana kalau ditanya ama kawan kawannya si Bugam, koq gak diundang ada masalah tah dan sebagainya. Wajar aja lah si Bugam marah,” ungkap si Kicut pada Karey yang terkesan cuek dengan berita yang ia kabarkan.
“Santai aja sih Cut, jangan kamu laju ngegas juga, saya itu cuma mau jelasin itu namanya bukan Piil, itu namanya tersinggung harga dirinya, beda lah Cut,” tegas si Karey
“Maksudnya gimana sih Rey, bingung saya koq bukan Piil sih,” tanya Kicut dengan mimik yang sedikit heran.
“Nah, kalo kamu tanya maka saya jawab apa itu Piil yang disandingkan dengan kata Pesenggiri. Terus terang saya juga sama dengan kamu, selama ini menganggap kata Piil itu padanan untuk kekesalan, ketersinggungan atas suatu hal menyangkut harga diri kita. Tapi suatu ketika, saya membaca tulisan dari almarhum datuk KH. Arief Makhya, di situ saya mengerti bahwa selama ini kita salah kaprah atas kata itu. Masa iya pedoman hidup orang Lampung yang adiluhung koq berbasis emosi buruk, kan gak mungkin ya,” jawab si Karey.
“Aih, kamu ini muter-muter lo Cut, saya ini mau tau bener, apa itu Piil Pesenggiri kalo kata kamu saya salah kaprah soal artinya,” timpal si Kicut.
“Jadi gini Cut, dijelaskan oleh KH Arief Makhya dalam tulisan berjudul Budaya Lampung Sejalan Ajaran Agama, bahwa kata Piil itu berarti sikap aktif kita untuk menolong (baik secara materil maupun secara moril) membela juga mendukung dalam konteks perbuatan baik kepada siapapun yang pernah berbuat baik terhadap diri kita,” terang si Karey, sembari menyeruput sisa kopinya.
“Ooh, jadi sebenernya Piil itu perbuatan baik kita sebagai balasan atas perbuatan baik orang lain kepada kita, gitu kan rey?,” tanya Dul Kicut pada Karey.
“Yap betul Cut, jadi selama ini kita salah mengartikan bahwa Piil itu identik sebagai perasaan terusiknya harga diri kita, sehingga kita cenderung membalas perbuatan orang lain yang kita anggap negatif itu dengan perbuatan yang negatif juga”
“Semisal neh, ada tetangga kita beli motor baru, kemudian dia menunjukkannya pada keluarga kita, mungkin saja dengan maksud untuk memberitahu jika perlu kendaraan boleh pakai dia punya motor. Namun karena hati kita belum bersih masih dipenuhi dengan penyakit hati, iri dan dengki maka penunjukkan itu kita anggap memamerkan sesuatu yang kita belum punya, sehingga harga diri kita merasa terusik. Besoknya, kita jual kebun hanya untuk beli motor yang lebih mahal dari punya si tetangga, tujuannya tentu untuk menyaingi dengan alasan Piil,“ terang si Karey pada si Kicut yang mulai mengerti.
“Oke oke, i see, lalu gimana dengan Pesenggiri Rey..?, tanya si Kicut.
“Nah kalo Piil itu sikapnya, “aktif” sebaliknya Pusenggiri itu berupa sikap “pasif”. Semisal ada kerabat dekat, kawan atau kolega kita dalam kondisi berbahagia, kemudian ia mengadakan sedekahan, syukuran, hajatan, begawi, resepsi, termasuk acara ulang tahun seperti kejadian si Bugam tadi, atau segala hal yang menyenangkan. Jika kita tidak diundang atau tidak diminta untuk datang, maka kita harus berpusenggiri, yaitu tidak berinisiatif untuk datang. Termasuk juga berpusenggiri itu adalah menjaga untuk tidak dipermalukan dalam hal apapun dengan cara bersikap pasif, “ jelas si Karey.
“Oh gitu ya Rey, jadi si Bugam itu tidak berpusenggirei dong ya, karena dia datang ke acara ultah orang, terus marah dan memukul orang tersebut karena tidak diundang,” ujar si Kicut sembari menganggukkan kepala serasa paham.
“Ya kurang lebih gitulah Cut, pointnya Piil Pesenggiri itu falsafah hidup. Oleh karena itu dapat dipastikan terkandung nilai positif. Jadi jangan salah guna kita sekarang dengan kata Piil. Meskipun kata Piil sekarang sudah mengalami pergeseran makna menjadi terusiknya harga diri dalam arti negatif, kita patut meluruskan penggunaanya agar falsafah hidup orang Lampung ini tetap memiliki nilai,“ pungkas si Karey sembari meninggalkan si Kicut yang masih kebingungan mencari dompetnya yang jatuh di bawah kursi namun tidak terlihat olehnya.(*)
penulis : Muhammad Junaidi, SH*