Oleh : M. Edward Rinaldo*
Saat ini kita telah berada dalam bulan Muharram, yang berarti kita baru saja memasuki Tahun Baru 1446 Hijriyah. Pada setiap awal Tahun Hijriyah umat Islam di seluruh dunia memperingati peristiwa Hijrah meski ada sebagian yang tidak peduli. Adalah Umar bin Khattab R.A. yang pertama kali menetapkan peristiwa hijrah sebagai awal mula penanggalan Hijriyah yaitu bertepatan dengan Tahun 622 Masehi.
Peristiwa Hijrah dari Mekkah ke Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya merupakan peristiwa yang amat sangat penting karena menjadi tonggak besar dalam sejarah peradaban Islam, sebelum hijrah umat Islam tidak memiliki kekuatan politik yang dapat melindungi kepentingan dakwah dan mempertahankan diri dari gangguan musuh setelah hijrah kekuatan itu mulai terbentuk. Penyebaran Islam pun tidak lagi hanya di Jazirah Arab tetapi jauh melampaui itu dengan didukung oleh kekuatan yang dapat melindungi, sampai pun bila harus berperang, dari yang semula bersifat lokal menjadi universal.
Hijrah dengan pengertian seperti yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu, perpindahan Nabi dan Para Sahabatnya dari Kota Mekkah ke Madinah itu sudah selesai dengan terjadinya “Fathulmakkah” tahun ke-8 Hijriyah sudah dinyatakan tertutup.
Keutamaan berhijrah dan apresiasi yang diberikan Al-Qur’an kepada mereka yang berhijrah secara fisik (dari Mekkah ke Madinah) sudah tidak berlaku lagi, Rasulullah SAW menyatakan “Laa Hijratan Ba’da al-Fathi” (tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekkah ini).
Meski demikian aktualisasi makna hijrah dari yang semula berpindah secara fisik dari satu tempat (Mekkah) ke tempat lain (Madinah) menjadi perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain yang lebih baik ini masih terbuka lebar dan masih terus perlu diupayakan oleh setiap muslim kapan pun dan dimana pun. Tentu ini memerlukan perjuangan dan memerlukan kebulatan tekat.
Esensi & Aktualisasi Hijrah
Aktualisasi Hijrah saat ini semakin dirasa perlu terutama disaat realitas dan berbagai indeks menunjukkan bahwa umat Islam itu masih dalam keadaan terbelakang dan tertinggal padahal umat Islam itu memiliki kitab suci memilki pedoman yang mendorong kepada kemajuan dan di dalam Al-Qur’an itu disebut “khairo ummatin ukhrijat linnas” (umat terbaik).
Beberapa Tahun belakangan ini marak fenomena Hijrah terutama di kalangan generasi milenial dan muslim perkotaan, komunitas hijrah bermunculan di berbagai kota bahkan hijrah telah menjadi trend gaya hidup anak-anak mudah zaman now. Sebuah fenomena positif yang menunjukkan semakin menguatnya semakin meningkatnya kesadaran beragama umat Islam.
Setiap kita pasti pernah mengalami fase tertentu dalam hidup yang mengharuskan kita bertransformasi melakukan perubahan termasuk perubahan dalam sikap keberagamaan, tentu kita tidak ingin fenomena tersebut hanya sebagai gaya hidup musiman kita tidak menginginkan tumbuhnya komunikas-komunitas tersebut mengarah pada sikap eksklusif dalam beragama, yang menganggap dirinya lebih baik dari yang lain yang menganggap dirinya paling islami dibanding yang lain yang tidak mengikuti trend tersebut.
Kalau hanya sekedar “lite style” berhijrah hanya akan sebatas penampilan fisik atau cara berpakaian tetapi substansi keberagamaan terabaikan. Kalau hanya sekedar life style kita khawatir akan terjadi “arusbalik” hijrah ketika sampai pada titik klimaks yaitu dalam bentuk pengendoran dalam beragama karena tidak puas dengan apa yang selama ini diterima.
Menurut sebuah survey tahun 2019 di Turki terjadi peningkatan orang yang tidak percaya pada agama terjadi hingga 3x lipat dalam sepuluh tahun terakhir ini penyebabnya seperti dilansir oleh banyak media adalah bentuk kekecewaan mereka pada penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung hanya bersifat formalistik bahkan selain menjadi atheis banyak diantara mereka yang agnostik (percaya Tuhan tapi menolak konsep agama). Oleh karenanya, menjadi penting bagi kita untuk memahami esensi dan makna hakiki dari “Hijrah” itu.
Secara Bahasa, Hijrah berasal dari bahasa Arab (Hajaro) yang memilki makna dasar berkisar pada memutus – mengencangkan – menguatkan. Jika kita merujuk dalam Almufrodath karya Al-Raghib Al-Ashfahani “Al-Hajru” memiliki arti meninggalkan sesuatu – meninggalkan seseorang baik secara fisik, secara lisan mau pun secara hati. Di dalam Al-Qur’an ada ungkapan “Wa Qola Rasulu Yaa Rabbi Inna Qaumittakhadzu Hadzalqur’an mahjuro” (kaumku meninggalkan Al-Qur’an) meninggalkan dengan apa ? Dengan hati, atau dengan hati dan lisan tidak membacanya tidak menghafalkannya tidak memahaminya tidak mentadabburinya dan tidak mengamalkannya. Ini memang kata Al-Ashfahani terkadang bisa dimaknai meninggalkan tempat secara fisik tapi juga bisa dimaknai secara batin yaitu, meninggalkan dan menolak syahwat (hawa nafsu), akhlak tercela dan kesalahan.
Kata hijrah di dalam Al-Qur’an lebih banyak digunakan untuk makna perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain kita lihat misalnya dalam seharah kehidupan Nabi-nabi terdahulu Nabi Ibrahim As. pernah berhijrah dari Babilonia (Iraq) tempat kelahirannya menuju beberapa tempat di Jazirah Arab seperti Negeri Syam, Mesir dan Mekkah. Ketika beliau sudah tidak berdaya menghadapi Ayahnya sendiri yang terlibat dalam melestarikan kemusyrikan dengan membuat patung dan tidak berkekuatan menghadapi Raja Namrud penguasah tiran yang pernah berusaha untuk membakarnya memasukkannya dalam kobaran api, ia pun menyatakan “wa qola inni muhaajirun ilaa robbi” (aku harus berpindah aku harus berhijrah munuju Tuhanku). Demikian pula ketika beberapa orang pemuda ashabul kahfi melarikan diri berhijrah dari kehidupan yang melenggu kehidupan beragama dengan melarikan diri ke sebuah gowa. Suatu pertanda bahwa manusia itu tidak bisa menerima penindasan apa pun bentuknya dan tidak mau menjadi korban kesewenang-wenangan.
Jadi, esensi Hijrah itu adalah Perubahan ke arah yang lebih baik dengan berpindah dari satu tempat dari satu keadaan kepada tempat atau keadaan yang lebih baik.
Di dalam Al-Qur’an kata “Hijrah” itu sering kali disebut berdampingan dengan kata “Iman” dengan kata “Jihad”. Misalnya dalam Surat At-Taubah ayat 20 yang artinya “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah”.
Hal ini menunjukkan bahwa hijrah dan sikap perlawanan terhadap bentuk kedzaliman dan berbagai bentuk kemaksiatan merupakan buah dari keimanan yang tulus yang sejati.
Seorang muslim yang baik pasti tidak akan pernah tinggal diam menyaksikan berbagai kedzaliman dan penindasan terutama pada kaum lemah, seorang muslim yang baik tidak akan pernah merasa nyaman ketika berada dalam kemaksiatan.
Penyebutannya yang sering diikuti dengan kata “jihad” menunjukkan bahwa hijrah memerlukan perjuangan dan pengorbanan.
Mental Spirit Hijrah
Yang diperlukan saat ini adalah Hijrah secara mental spiritual, Thariq Ramadan Cendekiawan Muslim terkemuka di Eropa pernah mengungkapkan “Mental Spiritual Hijrah itu bisa dalam bentuk pengasingan Dhomir (pelaku) dan Hati manusia dari Tuhan-tuhan palsu dari segala bentuk kejahatan dan kesalahan beralih dari berhala-berhala manusia bisa berupa kekuasaan, harta, kemilau dunia dari kepalsuan dan cara-cara amoral dalam kehidupan membebaskan jiwa dari berbagai beban penderitaan beban perbudakan yang merenggut kemerdekaan setiap insan.” Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk itu lah hijrah dalam pengertian mental spiritual. Dalam beberapa riwayat Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hijrah sejati itu adalah ketika seseorang bertekat meninggalkan kemaksiatan, meninggalkan kejahatan, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan apa saja yang dilarang oleh Allah SWT. “Al-muhaajiru man hajaro maa nahallahu ‘anhu.”
Berhijrah tidak harus memutus silaturahim dengan sahabat dan kerabat yang tidak berhijrah. Berhijrah tidak berarti mengasingkan diri lalu memusuhi atau memandang rendah mereka yang tidak berhijrah atau tidak sejalan dengannya.
Berhijrah berarti bertekat, berhijrah berarti berjuang keras untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, baik dalam konteks personal spiritual mau pun secara bersama-sama dengan lingkungan kemasyarakatan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan kerja-kerja positif.
30 Juli 2024 M – 23 Muharram 1446 H
*Mahasiswa Program Pascasarjana Magister UIN Raden Intan Lampung, PPK Teluk Betung Barat.
Penulis mendedikasikan tulisan ini sebagai bentuk apresiasi untuk Sdri Tria Nabila Rosi yang sedang menjalankan program KKN.