Dibawah Naungan PT Grand Modern Indonesia Ajang Pekan Raya Lampung 2024 Dinilai Terburuk, Gubernur Diminta Segera Evaluasi

Bandar Lampung, inihari.id – Dibawah naungan PT Grand Modern Indonesia (GMI) sebagai event organizer, perhelatan Pekan Raya Lampung (PRL) 2024 dinilai terburuk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Berbagai persoalan dan keluhan sejak dibuka secara resmi oleh Gubernur Lampung Arinal Djunaidi pada Rabu (22/5/2024) malam bermunculan.

Ironisnya, keluhan itu bukan hanya dari masyarakat yang hendak turut menyaksikan ajang pameran pembangunan di area PRL di PKOR Way Halim, Bandar Lampung, saja. Tetapi juga dari kalangan pejabat di lingkungan Organiasi Perangkat Daerah (OPD) Pemprov Lampung sendiri.

“EO PRL sekali ini bener-bener cuma mikirin bisnis. Masak mereka tega ‘nyekek’ OPD buat sewa tempat. Padahal, lahan yang mereka pakai itu kan kepunyaan Pemprov. Berapa sih mereka sudah kasih kompensasi, sampai semaunya aja nentuin harga sewa stand buat OPD,” ujar seorang kepala OPD seperti dikutif dari KBNI News, Jum’at (24/5/2024) malam.

Apa maksudnya EO PRL malah “nyekek” OPD?. Pejabat yang ditemui tidak jauh dari pintu masuk PRL ini menguraikan, pihak PT GMI mematok harga sewa lahan untuk stand per-satu titik dengan ukuran 3 x 3 m2 senilai Rp 20 juta. Sedangkan mayoritas OPD menyewa paling sedikit dua titik, dengan ukuran 6 x 3 m2, senilai Rp 40 juta.

“Bukan cuma harga sewanya saja yang sangat mahal, pihak EO juga tidak mau ada pemotongan untuk pajak. Ini kan gila. Anggaran yang dipakai OPD itu uang APBD, uangnya rakyat, dan wajib kena pajak. Dengan nominal antara 10 sampai 12%. Mereka tidak mau tahu, pokoknya harga sewa satu titiknya Rp 20 juta ya itulah yang harus mereka terima,” urai dia.

Menurut dia, seharusnya khusus OPD di lingkungan Pemprov Lampung –yang jumlahnya mencapai 40-an OPD-, tidak dikenakan sewa stand. Karena yang digunakan untuk kegiatan PRL merupakan lahan milik pemprov.

Lalu apa yang akan dilakukan pejabat ini?. Ia mengaku telah melakukan pembicaraan dengan beberapa pimpinan OPD lain dan sepakat akan menyampaikan hal ini ke pihak berwenang. Mulai dari aparat penegak hukum hingga ke Kemendagri dan Kementerian Keuangan.

“Kami harus bersikap, kalau terima-terima aja apa maunya EO, kami yang akan kena dikaitkan dugaan penyimpangan penggunaan anggaran dan melanggar kewajiban bayar pajak. Lebih baik kami ambil langkah dulu, biar nanti selesai PRL ini EO-nya yang mendapat masalah, begitu juga dengan yang nge-backing-nya,” tuturnya dengan nada kesal.

Bukan hanya soal harga sewa stand yang sangat mahal dan ketidakmauan pihak EO dipotong pajak sebagaimana ketentuan yang berlaku. Urusan pemanis stand berupa pemasangan partisi pun telah dikondisikan oleh PT GMI. Dan hal itu semakin membuat jengah kalangan pimpinan OPD di lingkungan Pemprov Lampung.

“EO ini sudah siapin pembuat partisi masing-masing stand. Untuk ukuran satu titik atau 3 x 3 m2, biayanya Rp 23 juta. Dinas saya pakai dua titik, jadi biaya pembuatan partisinya Rp 46 juta. Dan seperti sewa stand, biaya partisi juga tidak mau dipotong pajak,” bebernya lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara seorang pejabat salah satu OPD yang ditugaskan pimpinan instansinya “mengelola” stand selama PRL, yang ditemui Sabtu (25/5/2024) pagi, menjelaskan, dibandingkan sebelumnya, PRL tahun 2024 ini sangat tidak maksimal. Pelayanan EO kepada penyewa stand misalnya, juga tidak terkoordinasi dengan baik.

“Lebih buruk dibandingkan sebelum-sebelumnya. Mana harga sewa sangat mahal dan dipaksa pakai pembuat partisi yang mereka (EO, red) tunjuk. Dan benar memang, mereka nggak mau ada pemotongan pajak. Saya nggak ngerti ya, mereka paham nggak sih kalau dana OPD itu uang negara, yang harus kena pajak. Kalau pakai uang nenek moyang kita, iyalah nggak kena pajak,” katanya, dengan nada tinggi.

Ditambahkan, tahun sebelumnya dengan harga sewa satu titik Rp 15 juta tetap dikenakan pajak dan dilakukan pemasangan partisi. Tahun 2024 ini, dengan harga sewa Rp 20 juta per-satu titik, ditambah biaya pemasangan partisi Rp 23 juta.

“Saya nggak ngerti, apa pertimbangan bos-bos di atas kok nunjuk EO kelas beginian nangani PRL. Jujur, EO ini sebenernya malah buat malu bos-bos yang sudah percaya sama mereka dengan kenyataan kayak begini,” sergahnya.

Sebelumnya, beberapa warga juga menyampaikan keluhannya atas gelaran PRL yang dimulai 22 Mei tersebut. Seorang warga asal Sekampung Udik, Lampung Timur, pada Kamis (23/5/2024) malam sengaja memboyong keluarganya untuk menikmati hiburan sekaligus mendapatkan pengetahuan atas perkembangan pembangunan di Lampung, mengaku kecewa berat.

“Tiketnya mahal betul. Belum lagi tempat parkirnya semrawut dan mahal juga, Rp 10 ribu. Di dalem lokasi, lebih banyak yang dagang dibanding memberi informasi mengenai kemajuan pembangunan Lampung,” kata Kasmirin, warga Sekampung Udik, Lamtim, yang akhirnya memilih menikmati makanan ringan beserta istri dan ketiga anaknya di sebuah penjaja kuliner.

Hal senada disampaikan Junaidi. Warga asal Balik Bukit, Lampung Barat, ini mengaku sengaja mampir ke arena PRL bersama keluarganya setelah dari Jakarta sebelum kembali ke kampung halaman.

Terus terang, ia terkejut saat mengetahui mahalnya harga tiket, juga penempatan parkir kendaraan yang tampak tidak terkoordinir dengan baik. Dan karenanya, Junaidi pun membatalkan niatnya untuk masuk ke area PRL.

Rustam Efendi, mahasiswa asal Kalianda, Lampung Selatan, yang mengajak sang kekasih juga memilih membatalkan niatnya menonton PRL.

Mengapa? “Mahal bener tiketnya, om. Enakan uangnya buat beli pecel lele aja. Lagian, dengan harga tiket semahal itu, pasti makanan di dalem juga lebih mahal lagi,” kata Rustam seraya tersenyum kecut.

Sementara Bambang, pensiunan ASN Pemprov Lampung, yang ditemui di tepian jalan menuju lokasi PRL, Kamis (23/5/2024) malam, mengaku membatalkan rencananya melihat pameran pembangunan tersebut.

“Semrawut suasananya. Mana tiketnya juga sangat mahal. Selama hampir satu jam saya disini, banyak masyarakat yang tidak jadi masuk karena tiketnya itu. Tolong tulis ya, saya mewakili rakyat Lampung minta kepada pak Gubernur Arinal untuk segera mengevaluasi pelaksana kegiatan PRL ini. Jauh dari profesional dan sangat memberatkan masyarakat,” kata Bambang.

Mengapa mengadu ke Gubernur, kan pelaksananya EO PT Grand Modern Indonesia, semua ditangani oleh perusahaan pimpinan Sukaryadi itu?

“Pada sambutan pembukaan, pak Gubernur kan bilang, PRL ini event tahunan yang akan ditonton oleh rakyat, tapi rakyat jangan sampai mengeluh, apalagi terkait dengan tiket yang harus disesuaikan sama kemampuan masyarakat Lampung. Pak Gubernur kan bilang begitu. Nah, sekarang ini rakyat sudah mengeluh dengan tingginya harga tiket, jadi beliau ya harus tahu kalau apa yang diharapkannya tidak dijalankan oleh EO-nya,” sambung dia.

Ia menyatakan keheranannya mengapa Pemprov Lampung masih memakai PT Grand Modern Indonesia sebagai EO. Kenapa? “Dulu kan perusahaan ini juga EO waktu Lampung Fair jaman Gubernur Ridho. Kacau-kacauan waktu itu. Apa pemprov tidak belajar dari pengalaman sih,” tukasnya.

Saat menyampaikan laporan pada acara pembukaan PRL, Rabu (22/5/2024) malam, Ketua Pelaksana PRL Tahun 2024, Mulyadi Irsan, menjelaskan, hadirnya PT Grand Modern Indonesia sebagai EO PRL 2024 ini mengacu pada SK Gubernur Lampung Nomor: G/266/B.04/HK/2024 tanggal 1 Maret 2024. (*)

 

 

Penulis: *Editor: Ferry Susanto
Exit mobile version