BANDARLAMPUNG, INIHARI.ID — Anggota DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi PKB, Munir Abdul Haris, menilai program pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang akan berakhir pada 31 Juli 2025 belum berjalan optimal.
Menurutnya, banyak masyarakat yang masih mengeluhkan tingginya tagihan pajak meski sudah mengikuti program pemutihan. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program tersebut.
“Saya melihat program ini belum berdampak signifikan. Banyak warga mengaku tagihannya tetap tinggi atau bahkan bertambah setelah pemutihan,” ujar Munir usai rapat paripurna di DPRD Lampung, Senin (30/6/2025).
Munir mendorong Pemerintah Provinsi Lampung meniru langkah progresif yang dilakukan Gubernur Banten, yang berhasil melobi Jasa Raharja pusat agar tunggakan iuran tahun-tahun sebelumnya dihapuskan. Kebijakan ini dinilai berhasil meringankan beban masyarakat dan mendorong kepatuhan wajib pajak.
“Banten menjadi satu-satunya provinsi yang berhasil meniadakan iuran Jasa Raharja tahun lalu. Itu karena gubernurnya langsung melobi Dirut Jasa Raharja,” kata Munir.
Ia menekankan bahwa pendekatan serupa perlu ditempuh Gubernur Lampung agar masyarakat benar-benar merasakan manfaat program, sekaligus meningkatkan pendapatan daerah dari sektor PKB.
“Kalau ingin PAD meningkat, kita harus serius membantu masyarakat. Lampung layak mendapat perlakuan yang sama seperti Banten,” tegasnya.
Munir mengungkapkan bahwa PKB dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) selama ini menjadi tulang punggung pendapatan asli daerah (PAD) Lampung. Namun, potensi ini belum tergarap maksimal.
“Kalau dikelola serius, penerimaan bisa dua kali lipat. Di Banten, pendapatan dari PKB bisa tembus Rp2 triliun karena tingkat kepatuhan mencapai 70 persen. Lampung harus bisa menyusul,” katanya.
Tak hanya dari sektor kendaraan, Munir juga menyoroti potensi pendapatan dari pajak air permukaan dan retribusi daerah. Ia mengacu pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK 2022 yang mencatat potensi pajak air permukaan Lampung mencapai Rp23 miliar.
Namun, realisasi pendapatan dari sektor ini pada periode 2020–2024 tercatat masih rendah, hanya berkisar Rp5 miliar hingga Rp8,9 miliar per tahun.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama. Jangan hanya fokus ke kendaraan bermotor. Kita harus gali potensi lain, termasuk pajak air permukaan, retribusi, hingga optimalisasi BUMD,” pungkas Munir.(*)