Pansus DPRD Lampung Soroti Pelanggaran Proyek Fisik di Dinas PKPCK, Potensi Kerugian Capai Miliaran Rupiah

BANDARLAMPUNG, INIHARI.ID — Panitia Khusus (Pansus) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DPRD Provinsi Lampung menyoroti sejumlah temuan di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya (PKPCK) terkait pelaksanaan proyek fisik tahun anggaran lalu.

Dalam laporan yang dibacakan Juru Bicara Pansus, Budhi Condrowati, pada Rapat Paripurna DPRD Lampung, Selasa (17/6/2025), terungkap adanya dugaan pelanggaran kontrak kerja dari 26 paket kegiatan pembangunan dan peningkatan jalan lingkungan, pemasangan paving block, hingga pembuatan sumur bor.

Pansus mencatat temuan berupa kekurangan volume pekerjaan senilai Rp354 juta dan ketidaksesuaian spesifikasi senilai Rp123 juta dari 14 penyedia jasa konstruksi. Selain itu, terdapat potensi kelebihan pembayaran atas pekerjaan yang tidak sesuai sebesar Rp354 juta dan ketidaksesuaian spesifikasi lainnya senilai Rp232 juta kepada tujuh penyedia jasa.

“Tak hanya itu, potensi kekurangan penerimaan dari denda keterlambatan juga ditemukan, dengan nilai mencapai Rp14,7 juta,” ujar Budhi dalam pemaparannya.

Tak hanya menyasar penyedia jasa konstruksi, Pansus juga mengungkap kelebihan pembayaran jasa konsultasi yang wajib dikembalikan ke kas daerah. Nilainya mencapai hampir Rp1 miliar, atau tepatnya Rp987 juta, yang berasal dari belanja jasa konsultasi konstruksi maupun non-konstruksi.

Pekerjaan pembangunan Laboratorium UTB pun tidak luput dari sorotan. Pansus menemukan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp11,4 juta yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran.

Menanggapi berbagai temuan itu, Pansus merekomendasikan agar Dinas PKPCK memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan fisik proyek. Selain memperbarui standar teknis pekerjaan, Pansus mendorong penerapan kontrak berbasis output, pelibatan auditor teknis independen, serta pemberian sanksi tegas berupa blacklist bagi penyedia jasa yang terbukti melanggar kontrak.

“Apabila kelebihan pembayaran kembali terjadi, maka hal itu bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan sudah masuk dalam pelanggaran keuangan negara dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi,” tegas Budhi.(Fesa)

 

Exit mobile version