Perihal Surat Gubernur yang Menunjuk Nanang Ermanto !

#kacamatamasjun

Oleh: Muhmmad Junaidi, SH*

Setelah beberapa malam yang lalu, kami selesai berdiskusi dengan kesimpulan “Bolehkah dalam satu masa tertentu dalam satu kabupaten ada 2 Bupati? ”, tadi pagi tiba-tiba kawan saya yang S1 di Pulau Jawa itu datang ke rumah saya, agaknya beliau ini tipe manusia yang punya rasa ingin tahu yang sangat besar.

“Assalamualaikum Bung Adi,” sapanya pada saya, yang masih dalam keadaan bersarung dan hanya mengenakan singlet, maklum saya tak tahu dia akan tiba-tiba datang di pagi ini.

“Waalaikumsalam brader, untung saya udah bangun, kalo enggak malu juga jam segini masih ngelindur ha ha ha,” jawab saya sembari bercanda.

“Sory bung, saya pagi-pagi mau numpang ngopi, sekalian saya mau kasih tau juga, kemarin saya dapat kiriman pendapat, menurut saya ada benarnya juga pendapat itu bung,” ia memulai topik pembahasan.

“Oh ya.., gimana pendapatnya brader,“. tanya saya padanya.

Ia kemudian menjelaskan dan saya mendengarkan secara seksama dan dalam keadaan yang biasa-biasa saja.

“Gini bung dikatakan bahwa secara de jure wakil bupati itu sudah pernah dilantik pada awal jabatannya sebagai wakil dan menurut UU ia menjalankan tugas-tugas sebagai bupati selanjutnya ketika bupati berhalangan tetap karena proses hukum dalam hal ini ditahan.

Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat menerbitkan SK kepada wakil bupati untuk menjalankan tugas-tugas bupati supaya tidak terjadi kekosongan pemerintah dan hukum administrasi pemerintahan daerah dimana Bupati itu bertugas.

Ini berkaitan dengan penandatanganan dan lain-lain, supaya berlaku sah sebagai hukum, dan secara de facto sejak menerima SK Gubernur, wakil bupati sudah berlaku sebagai bupati dalam menjalankan tugas dan hukum pemerintahan,” jelas kawan saya ini secara detail menyampaikan pendapat dimaksud.

Saat akan menjawab tiba-tiba istri saya datang dengan 2 cangkir kopi dan singkong goreng. Lalu saya persilahkan ia untuk meminum kopinya sebelum dingin.

“Minum brader, ini kopi dari senior saya, kebetulan namanya Lee, jadi kopi Lampung ini dikasih merek Lee Kopi sesuai dengan namanya, belinya di Warta Kopi. Kopinya enak, karena “ngegoreng” nya pas, jelas saya padanya.

“Makasih bung, terus terang saya gak pengen bahas kopi, saya pagi-pagi ke sini karena menurut saya ini hal yang serius bung. Menyangkut hak konstitusional seseorang untuk berkompetisi dalam pilkada. Bayangkan jikalau hal ini multitafsir, kemudian salah tafsir maka hak seseorang yang jadi korban, dan sebagai intelektual kita turut bersalah karena menzolimi hak seseorang,” katanya sambil berapi-api.

“Iya juga ya, begitu besar konsekuensi dari salah tafsir, saya gak berfikir sampai di situ brader, terima kasih sudah ingatkan saya,” jawab saya yang sedikit kaget karena ternyata singkong goreng sudah lenyap dari hadapan saya. Rupanya kawan saya ini suka dengan makanan yang “digoreng” sebelum disaji.

Meski tanpa singkong goreng, saya seruput kopi buatan istri tercinta lalu saya melanjutkan pembicaraan. Tampak ia menunggu apa yang akan saya katakan.

“Oke.., kita coba bantah point penting dari pendapat itu ya. Nanti sepulang dari sini coba diskusikan lebih lanjut ke Ahli Hukum Administrasi Negara jangan ke Ahli Hukum Perdata. Spesialisasinya beda brader

“Kesalahan pertama dari pendapat itu adalah menyatakan Surat Gubernur itu Surat Keputusan sebab itu ditulis SK”

“Surat Gubernur itu oleh penulis dianggap sebagai keputusan konstitutif dalam arti keputusan itu meniadakan suatu keadaan hukum sekaligus menimbulkan keadaan hukum baru”.

“Maksudnya gimana ya Bung Adi ?,” timpalnya memotong pembicaraan saya.

“Jadi gini…, ujar saya melanjutkan. Dalam pendapat itu dikatakan secara de jure Nanang sudah pernah dilantik sebagai wabup dan secara de fakto sejak mendapat surat gubernur, Nanang sudah berlaku sebagai Bupati”.

“Nah.., sekilas pendapat ini tampak biasa saja karena Nanang memang dilantik sebagai wakil dan kemudian berlaku sebagai bupati. Karena surat gubernur juga menggunakan diksi SELAKU“.

“Namun dengan diawali kata “SUDAH PERNAH DILANTIK” dan “SUDAH BERLAKU” ini ia maksudkan sebagai perubahan keadaan hukum dari sebelumnya sebagai wakil kepada menjabat sebagai bupati sejak menerima surat gubernur tersebut”.

“Oleh karenanya, menurut saya apa yang dikemukakan itu kurang tepat, surat gubernur tersebut bukan keputusan konstitutif melainkan Tindakan Hukum Pemerintah di luar keputusan. Mengapa dikatakan begitu, karena sebuah keputusan konsitutif mewajibkan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya konsideran dan penetapan”.

“Konsideran untuk hal ini belumlah dapat terpenuhi sebab Bupati Zainudin Hasan baru saja ditangkap. status hukumnya belumlah tentu, apakah nanti cukup bukti untuk di lanjutkan ke pendakwaan di pengadilan atau malah harus di lepaskan. Semua hal masih belumlah pasti saat itu. Sedangkan pemberhentian sementara mewajibkan adanya pendakwaan. Intinya pasal pemberhentiannya belum bisa dimasukkan di konsideran,” terang saya kepadanya.

“Jadi apakah surat gubernur tersebut sah dan memiliki akibat hukum dalam Administrasi Negara…?,” tanyanya pada saya.

“Tentu saja sah dan sesuai kewenangannya,” jawab saya.

Saya meneruskan, “Dalam kacamata saya, surat gubernur ini merupakan tindakan hukum pemerintah dalam arti norma jabaran (concreto normgiving)”.

“Mengapa saya katakan demikian sebab pasal 65 dan 66 UU Pemda, tegas mengatur norma yang memerintahkan wakil bupati untuk melaksanakan tugas wewenang bupati jika bupati berhalangan. Namun ketentuan ini bersifat umum, dan impersonal sedangkan dalam prakteknya ketentuan itu haruslah dapat bersifat konkrit dan personal. Oleh karena itu gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menerbitkan surat gubernur agar wakil bupati dapat melaksanakan tugas wewenang bupati sesuai ketentuan norma di atas”.

“Jadi maksud Bung Adi, bahwa norma jabaran (concreto normgiving) ini bukan penetapan (beschikking) melainkan suatu sarana belaka untuk membuat ketentuan umum perundang-undangan dapat diterapkan ke dalam praktek. Dan termasuk dalam perbuatan hukum pemerintah, gitu ya?”, tegasnya sedikit ngegas.

“Tepat sekali braderku sayang, surat gubernur ini adalah tindakan hukum pemerintah dan masuk dalam perbuatan hukum pemerintah (recht handeling) dan itu sesuai kewenangan berdasar ketentuan pasal 6 dan pasal 34 UU Administrasi Pemerintahan karena didasarkan juga pada Surat Menteri Dalam Negeri,” jawabku.

“Bener juga ya.., dulu di semester awal kita belajar Recht Handilugen, tindakan penguasa yang mempunyai akibat hukum, itu kan maksud Bung Adi. Surat gubernur ini termasuk Recht Handilugen ini ya meski bukan berbentuk Surat Keputusan”, tegasnya sedikit ngegas.

“Cocok brader, jadi sepakat ya..kalo surat gubernur itu bukan surat keputusan yang memiliki konsekuensi konstitutif karena surat gubernur itu tidak meniadakan dan menimbulkan keadaan hukum baru. Tapi merupakan norma jabaran dalam praktek hukum administrasi negara.

Intinya Surat Gubernur itu tidak menjadikan Nanang sebagai bupati dan keadaan hukumnya Nanang Ermanto masih sebagai Wakil Bupati sampai Zainudin Hasan diberhentikan sebagai bupati berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri,” tutup saya mengakhiri diskusi karena sedari tadi gawai saya terus berdering dan memberitahu bahwa pagi ini ada rapat yang harus saya hadiri.(*)

Penulis : *Anggota Komisi III DPRD Lampung. 

Exit mobile version