Opini  

Hut Ke-17 : Dinasti Politik dan Kemiskinan di Pesawaran, Bayang-Bayang Gelap di Tanah Andan Jejama

Oleh: Wildan Hanafi *

Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung yang dikenal dengan sebutan Bumi Andan Jejama, akan merayakan ulang tahunnya yang ke-17.

Seiring bertambahnya usia, kabupaten ini dihadapkan dengan tantangan yang tidak kecil. Salah satunya adalah kemiskinan yang masih menjadi bayang-bayang gelap bagi sebagian besar masyarakatnya.

Meski Kabupaten Pesawaran memiliki potensi alam yang melimpah, dengan keindahan pantai dan kekayaan alam lainnya, kenyataannya masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pembentukan dinasti politik Dendi Ramandhona sebagai Bupati Pesawaran menjadi cerminan nyata dari melemahnya prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan kompetisi yang sehat dan partisipasi yang adil.

Fenomena dinasti politik ini bukan hanya mengancam demokrasi lokal tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap proses pemilihan yang adil dan transparan.

Pertama, keberadaan dinasti politik mengurangi kesempatan bagi calon pemimpin lain yang potensial dan kompeten.

Dinasti politik cenderung menciptakan monopoli kekuasaan yang sulit ditembus oleh mereka yang tidak memiliki hubungan keluarga atau jaringan politik yang kuat.

Hal ini mengakibatkan proses seleksi pemimpin yang seharusnya didasarkan pada kemampuan dan visi menjadi terdistorsi oleh faktor keturunan.

Kedua, dinasti politik memperkuat budaya patronase dan nepotisme. Dalam sistem dinasti, pemimpin cenderung mengutamakan anggota keluarga dan kerabat dekat dalam penunjukan jabatan strategis.

Praktik ini tidak hanya merugikan publik karena mengabaikan meritokrasi, tetapi juga memperparah korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kebijakan dan keputusan sering kali lebih mementingkan kepentingan keluarga daripada kepentingan umum.

Ketiga, dinasti politik menghambat regenerasi dan inovasi dalam pemerintahan. Kepemimpinan yang terus-menerus beralih di dalam lingkup keluarga yang sama cenderung kaku dan kurang adaptif terhadap perubahan.

Gagasan dan inovasi baru sering kali diabaikan atau tidak mendapat ruang untuk berkembang, karena dinasti politik cenderung mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka.

Selain itu, dinasti politik juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Ketika masyarakat melihat bahwa kekuasaan terus berputar dalam lingkaran keluarga yang sama, mereka menjadi skeptis terhadap proses demokrasi dan cenderung apatis.

Kepercayaan terhadap integritas proses pemilihan menurun, dan partisipasi masyarakat dalam politik menjadi lemah. Padahal, partisipasi aktif dari warga adalah esensi dari demokrasi yang sehat.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan reformasi politik yang serius. Regulasi yang lebih ketat terhadap praktik dinasti politik harus segera diterapkan, termasuk pembatasan masa jabatan dan penegakan aturan yang mencegah monopoli kekuasaan oleh satu keluarga.

Selain itu, perlu ada pendidikan politik yang lebih intensif untuk masyarakat agar mereka lebih kritis dan sadar akan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan hubungan keluarga.

Pesawaran, seperti daerah lainnya, berhak mendapatkan pemimpin yang dipilih berdasarkan proses yang adil dan transparan. Hanya dengan mengakhiri praktik dinasti politik, kita bisa berharap terciptanya pemerintahan yang lebih baik, bersih, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Dinasti politik Dendi Ramandhona seharusnya menjadi momentum bagi kita semua untuk merenungkan kembali arah demokrasi di Indonesia dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memperbaikinya.

Melihat dan menganalisa nama-nama bakal calon bupati yang akan maju dalam Pilkada Pesawaran pada 2024, sang istri petahana yakni Nanda Indira Dendi secara resmi telah mendaftarkan sebagai bakal calon bupati Pesawaran mendatang.

Perlu diketahui, Nanda Indira telah mendaftar penjaringan partai diantaranya: PDIP, Demokrat, PAN, PKS, PKB dan sudah mendapat surat rekomendasi dari PKB dan PKS.

Demikian juga dengan calon-calon yang akan diusung partai-partai lain, masih sulit memperkirakan kemampuan mereka untuk membawa Pesawaran keluar dari permasalahan yang ada.

Tetapi satu hal yang pasti, bahwa untuk mendapatkan pemimpin terbaik, harus datang dari kesadaran dan kemauan masyarakat Pesawaran sendiri.

Organisasi masyarakat, organisasi pemuda, tokoh-tokoh adat, dan tokoh-tokoh masyarakat harus berani bersuara, dan Mahasiswa mengajukan putra-putri terbaik yang kapabilitas dan kredibilitasnya bisa dipertanggung jawabkan demi Bumi Andan Jejama yang lebih profesional, dan berkualitas ke depannya.

Masyarakat Pesawaran seharusnya tidak lagi mau dininabobokkan dengan janji-janji, maupun didoktrin oleh sudut-sudut pandang sempit para calon pemimpin Pesawaran.

Bahkan, masyarakat harus menolak politik uang yang terbukti sudah merusak sendi-sendi demokrasi dan kehidupan masyarakat Pesawaran.

Generasi pemuda-pemudi Pesawaran rindu dengan perubahan, sudah saatnya menunjukkan eksistensi dan berkiprah.

Dengan melihat keberanian anak muda di Pesawaran, yang melakukan terobosan untuk menembus kebuntuan dalam menentukan pemimpin, Benedict Anderson dalam bukunya

“The Pemoeda Revolution: Indonesian Politics 1944-1946” menyebut revolusi tumbuh dari anak-anak muda yang dibesarkan oleh nilai utopia, hidup sederhana dengan keyakinan religius yang menawan. Biasanya ini anak-anak muda yang besar di pesantren, di mana nilai-nilai rohani ditanam dengan bimbingan seorang kyai.

Tapi mitos anak muda dalam legenda Jawa memang berunsur pemberontak: mula-mula bandit kemudian mulai melakukan aneka kejahatan hingga semua itu diperbuatnya sebagai bukti kesaktian.

Simbol anak muda itu ada pada diri Ken Arok, pendiri dinasti Singosari. Setidaknya ini beda dengan anak muda hari ini yang mapan, normal dan suka uang.

Jika membaca dan mendalami sejarah, banyak sekali peran pemuda untuk kemajuan negeri ini. Semua masa pergerakan nasional diperankan oleh kaum pemuda terpelajar yang tetap berpegang teguh pada tradisi bangsanya, bahkan meskipun ada yang berpendidikan Barat mereka tidak justru ke-Barat-baratan, seperti Wahidin Soedirohusodo, Soetomo, HOS Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Semaun, Soekarno, Hatta, Moh Yamin, Soegondo Djojopoespito, Amir Syarifuddin Harahap, Kartosoewirjo, A.K Gani, Soenario dan masih banyak lagi.

Peranan pemuda menjadi relevan untuk diperbincangkan saat ini di tengah situasi politik daerah yang sering tersekap defisit moralitas, absennya prinsip-prinsip yang dikukuhi.

Selebihnya kerumunan politisi yang dengan kepala kosong dan hanya mengandalkan kepalan tangan, retorika murahan, dan nafsu memburu kekuasaan yang kelewat batas, tanpa solusi yang ada melahirkan kegaduhan.

Saya menyadari sepenuhnya pemuda bukanlah penyelenggara pemerintahan, namun pemuda adalah sebuah entitas sakral yang harus kepadanya bangsa-negara dititipkan.

Tidak berlebihan jika pemuda dikatakan pewaris peradaban bangsa. Tidak terbantahkan bahwa rekam jejak yang pernah ditorehkan telah menjadi memori bangsa ini.

Memori itu kemudian mewujudkan dalam sebuah imaji-imaji akan perannya yang selalu dirindukan oleh bangsa.

Pemuda dan mahasiswa adalah aktor intelektual, yang sadar dan ingin mengabdi kepada masyarakat dengan gagasan yang cemerlang memiliki ideologi yang jelas yang dipilihnya secara sadar dan membimbingnya untuk memimpin gerakan progresif dan menyadarkan umat terhadap kenyataan hidup.

Realitasnya, memimpin masyarakat bukan hanya dengan janji-janji tetapi, memimpin adalah bagaimana masyarakat menuju perubahan, mendorong perwujudan pembenahan semua struktural, memiliki rasa amanah terhadap masyarakat.

Bukan sekelompok pemuda yang mata duitan, mau bekerja jikalau ada uangnya, bukan pula pemuda yang pasif acuh tak acuh dengan keadaan Pesawaran saat ini, bukan pula pemuda yang tuna konsep, dan hanya bisa menadahkan tangan pada penguasa.

Juga yang sering berteriak mengutuk segala bentuk penyelewengan tetapi secara langsung maupun tidak langsung mereka melakukannya. Kita juga tidak butuh pemuda yang meletakkan kepentingan subyektif di atas kepentingan bersama.

Sudah saatnya buruh tani, mahasiswa, dan rakyat Pesawaran melakukan konsolidasi untuk memantapkan ikhtiar memperjuangkan keadilan dan etik-moral sosial masyarakat, mengawal dan bersuara lantang terhadap tirani pemerintahan yang semakin hari semakin tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Kenyataan inilah yang benar-benar kita sadari bersama, sebuah tanggung jawab yang sangat besar yang tidak bisa diabaikan.

Kepada siapa lagi bangsa ini dititipkan? Entitas yang mana lagi yang dapat dipercaya di tengah kondisi bangsa yang krisis kejujuran, minim keikhlasan, dari legislatif, yudikatif, dan juga kepala-kepala dinas yang ada di Bumi Andan Jejama yang sering kebablasan?

Pesawaran memiliki putra dan putri terbaik dan berprestasi baik tingkat nasional hingga internasional bahkan akhlak yang baik.

Namun, lagi-lagi mereka tidak berkenan muncul ke permukaan karena tidak direspon dengan baik atas kreasi bahkan keilmuan yang dimiliki pemuda dan pemudi Pesawaran.

Sudah saatnya berpegangan tangan, saling membesarkan, saling menghidupkan kartu bukan saling menjatuhkan.

Tugas semua elemen masyarakat Pesawaran tanpa terkecuali adalah mencari figur-figur emas yang terpendam, sebagai calon pemimpin yang diyakini mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik lagi.

Karena masyarakat Pesawaran paling tahu dan berkepentingan, seperti apa pemimpin yang dibutuhkan masyarakat ke depannya.

Sebagai daerah yang berusia 17 tahun, Pesawaran seharusnya sudah mampu menunjukkan kemajuan yang lebih signifikan dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Pemerintah harus lebih fokus pada pengembangan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat juga sangat penting untuk menciptakan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.

Pesawaran memiliki potensi besar untuk berkembang, namun semua pihak harus bekerja sama untuk mengatasi bayang-bayang gelap kemiskinan yang masih membayangi Tanah Andan Jejama ini.

Dengan usaha yang konsisten dan terpadu, diharapkan Pesawaran bisa mencapai kemajuan yang lebih baik di tahun-tahun mendatang.

Hal ini selaras dengan pesan Allah SWT bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum yang berada dalam kenikmatan dan kesejahteraan, sehingga mereka mengubahnya sendiri.

Juga tidak mengubah suatu kaum yang hina dan rendah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri, yaitu dengan menjalankan sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada kemuliaan dan kejayaan.

Inilah yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [QS Ar-Ra’d : 11].(*)

*Penulis merupakan Presidum Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Bandar Lampung

Penulis: Wildan HanafiEditor: Ferry Susanto
Exit mobile version